Riwayat St. Agnes
Pada permulaan
abad keempat, didirikanlah di kota Roma sebuah gedung pusaka besar lagi indah.
Gedung seindah istana itu, kepunyaan seorang bangsawan ternama di kota Roma.
Telah berabad-abad lamanya pengaruh kaum bangsawan memegang peranan penting
dalam kota. Tetapi, meski pun begitu, kehidupan keluarga bangsawan itu
berlainan sekali. Mereka tidak pernah mengadakan pesta-pesta bagi umum,
sebaliknya ia pun tidak pernah juga mengunjungi pesta malam. Lagi pula, segala
sesuatu yang tampak di rumah bangsawan itu sederhana saja.
“Tentu karena
kikirnya, si kaya itu tak mau berpesta!” kata orang-orang.
“Lihatlah,
gedung besar lagi indah itu terbagi dua. Bagian yang kecil, didiaminya,
sedangkan yang besar terlindungi tembok tinggi yang tebal dan selalu tertutup.
Pastilah di situlah disimpannya kekayaan yang tak ternilai banyaknya!”
Syukurlah,
persangkaan orang-orang itu tak benar.
Sebenarnya,
karena keluarga bangsawan itu menginsafi, “Hidup berpesta, lambat laun membawa
keruntuhan!”
Pun, sudah
lebih dari seabad lamanya keluarga bangsawan itu membanggakan namanya sebagai
Penganut Yesus Kristus.
Sayang,
orang-orang itu juga belum pernah menyaksikan suasana tenang dalam rumah indah
itu. Dan bagian yang tertutup, dipergunakan untuk bermacam-macam pekerjaan
amal. Melalui pintu belakan, yang sakit, yang tua, yang miskin, yang terkutuk
badannya, dapat minta pertolongan yang dibutuhkannya. Namun, ruang yang
terbesar serta terindah selalu tersedia bagi Misa Kudus.
Satu hal boleh
dikatakan kurang ialah, tak adanya seorang putera pun yang dapat mempertahankan
dan tetap menjunjung nama mulia itu. Hanya Agnes, penghibur orang tuanya yang
telah lanjut usianya.
Alangkah
cantiknya lagi ramah tamah gadis itu. Pekertinya lemah lembut sesuai benar
dengan tubuhnya yang elok itu. Budinya terang. Tak heran bila seisi rumah suka
bergaul dengan Agnes.
Sejak dari
kecil, Agnes dididik ibunya menurut kedua belas fasal kepercayaan Yesus
Kristus. Dan Agnes, mencintai Kristus dengan sepenuh hati. Setiap hari makin tumbuh
cinta yang halus lagi suci itu. Pada suatu hari, timbullah keinginan yang
berkobar-kobar di dalam kalbunya. Setelah dipikirkan masak-masak, Agnes pergi
kepada ayah bundanya. Dengan terus terang diuraikannya cita-citanya dan memohon
izin.
Tidak hanya menyetujuinya,
bahkan kepuasan dan kegembiraan membayang pada wajah orang tuanya.
Berlangsunglah peristiwa yang mengharukan tetapi mulia ini.
Hari masih agak
gelap ketika ruang yang luas itu setengah kosong sehabis Misa Kudus. Tak heran
juga, karena waktu itu musim dingin dalam bulan Desember. Di atas meja altar
lilin tinggal menyala.
Dari belakang
terdengar lagu merdu, bunyinya, “Yesus, corona virginum” yang artinya “Yesus,
mahkota para perawan”.
Saat itu pula
beberapa lampu emas terpasang dan menyinarkan cahayanya yang lembut. Di sebelah
altar, Imam Agung bersemayam menunggu dengan sabar.
Agnes
berpakaian serba putih, bermahkota mawar putih, tampil ke muka. Berlututlah ia
dihadapannya. Nyaring suaranya menggema dalam jiwa para hadirin.
Agnes sedang
berikrar, “Atas Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Saya akan tetap serah setia
kepada Yesus Kristus Tuhan kita. Diriku serta pribadiku semata-mata akan
kuperuntukkan Kerajaan Ilahi saja. Atas Nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
Amin.”
Kemudian
sebagai tanda bahwa maksudnya bersungguh-sungguh, Agnes meninggalkan
perhiasannya.
Upacara
selesai. Imam Agung serta para hadirin telah pergi.
Agnes masih
berlutut di tangga altar, tidak bergerak. Gadis itu seperti sudah melupakan
segala sesuatu. Rambutnya serupa benang emas, berombak-ombak terurai di
punggungnya hingga pahanya. Tangannya terkatup di dada, sedangkan matanya yang
besar bulat itu, mengarah ke atas. O Agnes, sungguh molek engkau, boleh
dikatakan malaikat duniawi yang sedang menyembah Pencipta semesta.
Matahari pagi
mulai menampakkan diri, akan mengusir embun yang sedang mencair.
Berkilau-kilauan bagai perak mencair mengalir dalam kelopak bunga yang tengah
membuka diri. Seluruh alam memberi ucapan selamat datang kepada musim semi.
Tetapi tak ada
waktu bagi kota Roma untuk mengarahkan perhatiannya dalam hal itu. Hanya siap
sedia menyambut kesibukan sehari-hari.
Rumah Agnes pun
tak ketinggalan, pintu gerbang di muka dan di belakang telah terbuka
lebar-lebar.
Seorang pemuda
masuk ke halaman muka. Pakaiannya indah, bertatahkan intan. Sikapnya gagah
berani, nyata biasa bergaul dengan para bangsawan. Hanya pandang matanya yang
gelisah itu, menimbulkan syak wasangka.
Tiba-tiba
tampak oleh Agnes. Cepat gadis itu berjalan di antara rumpun bunga. Agnes
hendak pergi ke gedung yang di kelilingi tembok tinggi itu. Bajunya putih dan
amat sederhana. Meski jauh dari berhias, kecantikannya tidak berkurang. Tidak
pucat karena kekurangan perhiasan. Malahan dalam keadaan yang bersahaja itu,
Agnes yang muda lagi riang itu bertambah cantiknya.
Ketika
dilihatnya pemuda itu, Agnes berhenti. Memang Agnes mengenalnya. Pada suatu
hari, waktu Agnes mengunjungi saudara sepupunya, pemuda itu ada juga di rumah
pamannya.
“Saya tidak
sabar menunggu sampai hari siang, karena ingin mencatatkan namaku sebagai
langganan rumah ini, “kata pemuda itu sambil mendekat.
Dan pandangan
matanya menunjukkan kekurang ajaran.
“Rumah ini
tidak membutuhkan langganan atau kehormatan tuan,” jawab Agnes dengan pendek.
“Maaf, rumah
ini tentu dihormati karena penghuninya,” kata pemuda tadi pula.
“O ya, betul,
kata tuan. Ayah selalu dihormati orang.”
“Tapi hormatku
terhadap yang cantik. Kecantikan kupuja.”
Mata Agnes yang
hitam terang lagi jernih diarahkan ke arah lain, ke langit! Sebab, itu juga
kepada yang Tercantik, kepada yang dipuji oleh alam semesta.
“Sebab, itu
juga kepada yang Tercantik, kepada yang dipuji oleh alam semesta, daku
mempersembahkan jiwaku!” suara Agnes bagai berlagu.
Fulvius
bingung, sulit benar pekerti Agnes! Sekonyong-konyong dia berlutut, hendak
meraba tangan Agnes. Terperanjat pemudi bangsawan itu, surutlah ia ke belakang.
Tak jauh dari tempat itu, lewatlah serdadu kawal.
“Jangan marah,
tuan ini tersesat rupanya. Tunjukkan kepadanya jalan raya!” titah Agnes dengan
halus. Lalu ia pergi!
Fulvius
mengikuti serdadu itu. Pikirannya gelap bagai benang kusut.
“Biarlah, kini
tak berhasil, tetapi meski bagaimana jua pun, pemudi bangsawan yang tercantik
dan terkaya di kota Roma, harus menjadi mempelaiku atau……”
Tanah landai di
sela-sela ngarai di sepanjang jalan raya yang menghubungkan kota Roma dengan
daerah di sebelah timur, menarik perhatian musafir. Di tengah-tengah keindahan
itu, kira-kira setengah jam perjalanan dari kota Roma, sebuah menara bundar
putih membubung ke langit. Itulah Villa kecil, tempat di mana Agnes
beristirahat untuk beberapa minggu lamanya.
Mendengar itu,
Fulvius berniat akan mencoba sekali lagi. Dipilihnya berjenis-jenis permata,
yang maha.
“Masakan Agnes
tidak dapat terjerat melihat buah tangan ini!” pikirnya.
Ketika Fulvius
tiba di villa itu, hari hampir senja. Dan pemandangan sekeliling makin indah
rupanya.
“Saya datang
dari kota, perlu bicara denga puteri Agnes,” kata Fulvius kepada penjaga pintu.
“Silahkan terus
saja, puteri Agnes ada di serambi,” sahut penjaga pintu.
Sangkanya kabar
itu dari ayah Agnes.
Agnes asyik
mengarang bunga, sedangkan Molossus anjingnya tidur di tangga. Melihat Fulvius
datang, Molossus menggeram. Tapi Agnes mengacungkan telunjuknya dan Molossus
diam pula. Sementara itu Fulvius sudah berdiri di samping Agnes. Hormat
bercampur berani, Fulvius yakin akan menang, nampak dalam matanya.
“Dewi mulia,
saya datang ke sini akan mengulangi permintaan saya. Maka hari ini boleh
dikatakan cemerlang bagi saya.”
“Memang begitu
adanya setiap hari, sesudah aku terikat seuatu perjanjian suci,” jawab Agnes
sambil tersenyum simpul.
“Janganlah dewi
mempermainkan seorang yang bermaksud murni!”
Dengan tenang
Agnes menentang mata Fulvius.
Gadis itu bangkit,
raut mukanya berubah memerah bercampur muram, “Pergilah dari sini. Hatiku telah
tertambat pada Mahamurni yang tak akan mengusik ketenteramanku.”
Muka Fulvius
memucat marah. Lupa dia akan buah tangan yang telah dibawanya. Tegak berpaling,
dia mendekatinya.
Sekonyong-konyong
berhenti pula, memalingkan mukanya dan berseru, “Puteri angkuh, saat ini tak
akan kulupakan. Rasailah pengaruhku dan dendamku kelak!”
Dari jauh
kedengaran bunyi langkah kuda makin lama makin mendekat. Dengan cepat Fulvius
pergi, makin jauh ke arah jalan yang gelap.
“Ayo Molossus,
kita mendapatkan ayah bunda. Tentu telah tiba kini!” kata Agnes dengan riang
pula.
Sebagai seorang
mata-mata kaisar Roma, Fulvius termasuk orang yang giat. Namun semenjak
pertemuan terakhir ini, usahanya istimewa benar. Kaisar Diocletianus bertabiat
kejam dan setiap hari dihasutnya.
Diocletianus
percaya pada para penghasut. Sangka baginda, lama kelamaan penganut Sang
Kristus akan merobohkan takhtanya. Sebab itu baginda benci kepada penganut
Tuhan Yesus Kristus. Maka, barang siapa yang dapat mengadukan para penganut
itu, dianugerahi baginda luar biasa.
Fulvius
menimbang dengan sabar lagi teliti. Yang disebut Agnes, Tercantik dan
Mahamurni, siapa lagi, jika bukan Sang Kristus? Ya, Fulvius yakin seisi istana
bangsawan itu niscaya penganus Sang Kristus. Namun, buktinya harus ada!
Kelelahan tak dirasakan, asal saja dapat menyelidiki hal itu. Nanti, bila
segala-galanya sudah jelas, dia akan melepas panahnya.
Pada suatu pagi
tersiarlah kabar, Agnes dihukum! Para bangsawan di kota Roma terkejut.
“Agnes pun
seorang penganut Sang Kristus?” tanya seorang.
“Mustahil,
salah sangak!” kata seorang lagi.
“Dan meski pun
begitu, apa bahayanya?” membantah seorang lain.
Ke mana Agnes
dibawa, tiada yang tahu.
Agnes menjalani
hukuman yang berat. Hukuman untuk menggoncangkan dan merusak kemurniannya.
Tetapi laksana menara gading yang putih bersih, tak gentar menghadapi segala
daya musuhnya. Bahkan kesuciannya memancarkan ketabahan hati yang dapat
menjengkelkan hati lawannya. Sehingga jaksa-jaksa busuk itu akhirnya memberi
putusan lain, hukuman mati!
Pada waktu yang
sudah ditentukan, penuh sesak penonton yang akan menyaksikan pelaksanaan
hukuman itu. Di atas onggokkan kayu, Agnes berdiri. Badannya yang ramping lampai,
seperti sudah lepas dari dunia ini, menantikan saat yang terakhir. Tangannya
terkatup, bagai menyembah. Matanya melayang ke langit.
Agnes berdoa,
“Saya mengucap syukur Bapa Yang Maha Kuasa, saya ingin memuji namaMu
selama-lamanya.”
Nyala api mulai
tampak, makin lama makin tinggi. Agnes tidak bergerak, anmpaknya tidak
merasakan panas api itu.
“Hai!”
“Aduh!”
“Lihatlah!”
begitu teriak orang menyela bunyi kayu api yang sedang terbakar.
Apa yang
terjadi? Nyala api tadi seolah-olah ditiup oleh tenaga gaib, yang mengubah
arahnya. Menjilat-jilat ke luar, hingga mengenai beberapa orang yang berdiri
dekat onggokan itu.
Karena gempar,
terpaksa api dipadamkan lagi. Agnes belum kena sedikit jua pun. Sekarang Agnes
dibawa ke penjara dan ditutup dalam sel kecil, hingga surat keputusan dari
Kaisar Diocletianus tiba.
Fulvius keluar
dari rumahnya. Hawa malam yang sejuk meredakan gelora dalam kalbunya.
Sebenarnya tiada bertujuan. Tetapi, entah mengapa, penjara Tullianus
seolah-olah menariknya.
Sesal,
kesombongan yang mengecewakan, loba yang mengganas, malu karena merasa terhina,
itulah perasaan hatinya. Pada hematnya, kekayaan Agnes dibutuhkan benar untuk
mempertahankan pangkatnya.
Fulvius telah
tiba pada pintu penjara. Sebagai pembesar kota, dengan mudah saja dia dapat
masuk ke bilik Agnes.
Agnes berbaju
putih, sedang berlutu. Dalam kegelapan penjara, baju putih itu seperti
bercahaya. Gadis itu tidak membayangkan takut.
Melihat
Fulvius, Agnes berdiri lalu berkata, “Hormatilah daku di sini, tuan. Hanya
beberapa jam lagi daku hidup.”
“Dewi, saya
datang akan menambah jam itu. Ikutlah, bertahun-tahun lamanya kamu boleh hidup
berbahagia.”
“Fulvius, kamu
tak malu mengganggu, dengan usahamu, aku ditawan?”
“Bukan begitu,
dewi, pilihlah sendiri nasibmu!”
“Bukankah saya
sudah mengaku, dan hendak setia kepada Yesus Kristus?” seru Agnes.
“Mari, saat
mendesak! Kita akan pergi ke negeri lain, supaya kamu dapat hidup. Dan
sekehendakmu, bila kamu akan menganut Sang Kristus juga.”
“Biarkanlah
daku dalam kesunyian. Pertalian Suci yang telah mengikat diriku, tak akan
kuputuskan lagi,” jawab Agnes dengan jelas.
Fulvius tak
sabar lagi. Matanya berapi-api. Tinjunya mengepal.
“Gadis keparat!
Gila engkau! Tetapi baiklah, besok kamu boleh berpandang-pandangan dengan
maut!”
Sesudah itu
Fulvius sendiri seperti gila, meninggalkan penjara akan pergi ke…..
Agnes berlutut
kembali akan memohon rahmat serta kekuatan batin bagi besok. Berdoa juga bagi
Fulvius supaya pikirannya terbuka kelak.
Melalui
gelanggang luas, Agnes diantarkan sampai ke muka kursi hakim. Gadis itu tidak
mengindahkan kejadian sekelilingnya. Perhatiannya seperti tertarik ke tempat
yang lain, jauh dari sini.
“Mengapa dia
tidak terbelenggu?” tanya hakim dengan marah.
“Tidak usah
tuanku, gadis ini mengikuti kami dengan sabar. Lagipula masih muda,” jawab
seorang pengantar.
“Biar pun
begitu, tapi dia keras kepala seperti yang tua. Segera, pakaikan belenggu!”
Dari antara
pasangan belenggu dicarinya yang kecil, lalu dikenakan pada pergelangan tangan
Agnes. Tetapi pergelangan yang terkecil itu juga terlalu besar baginya. Sebagai
permainan, Agnes menggoyangkan tangannya dan berdering-dering rantai besi itu
jatuh di lantai.
“Sudah yang
terkecil kupilihkan! Memang anak ini patut memakai gelang lain,” kata orang
tadi.
“Diam!” seru
hakim.
Kemudian kepada
Agnes, “Saya menaruh belah kasihan, gadis. Ingatlah kamu muda, kaya, berbangsa,
pengharapan ayah bunda. Janganlah kamu keras kepala. Lupakan agama itu. Turuti
sabda Kaisar! Marilah, Agnes, ambil beberapa butir menyan itu dan persembahkan kepada
berhala ini!”
“Tidak berguna
tuan mencoba. Hatiku sudah tetap, hanya kasih dan berbakti kepada Kristus.”
Sesudah itu
mata Agnes mengarah ke langit, “Raja segala abad, bukakanlah daku pintu Surga!”
“Sia-sia
usahaku!” teriak hakim.
“Griffier,
tulis keputusan! Agnes dihukum mati oleh karena melanggar titah Kaisa
Dicletianus. Akan dipenggal lehernya.”
“Di mana dan
bilamana akan dilangsungkan?” tanya Griffier.
“Sekarang,”
ujar hakim.
Agnes
tersenyum. Sambil berlutut gadis itu menundukkan kepalanya. Dengan tangannya
sendiri diuraikan rambutnya yang panjang lagi hitam itu ke muka. Tangannya
menyilang di dada. Badan yang ramping berbaju putih itu, serupa tangkai ajaib
lagi bersih, yang tunduk karena sarat bermuat bunga emas.
Sejurus tangan
algojo gemetar.
“Patutkah
seorang algojo dikalahkan iba hati?” tegur pembesar kota.
Seketika mata
pedang berkilat, lalu, badan Agnes roboh. Baju putih… berwarna merah kini.
Roh Agnes yang
bebas lagi cemerlang melayang ke atas.
Mengatasi
bintang-bintang yang menurutinya sambil berkedip-kedip. Yesus melambai dan
Agnes datang! Pada ambang cahaya di pintu surga, beribu-ribu malaikat telah
menantikannya. Lagu gembira telah bergema! Agnes dipersilahkan masuk dalam
kebahagiaan abadi, yang tak terbatas tempatnya dan waktunya.
Hari pesta
Santa Agnes dirayakan pada tanggal 21 Januari dan sekali lagi pada tanggal 28
Januari.
Kata orang,
pada tanggal 28 Januari, Agnes menampakkan dirinya kepada ayah bundanya yang
sedang berdoa dan bersusah hati dekat kubur martir muda itu.
Acapkali Agnes
digambar sedang mendukung anak domba.
Artinya,
kemurniannya bagai anak domba yang baru lahir dan cinta Agnes terhadap Yesus
Kristus, ialah Domba Allah Penebus dosa dunia.
Agnes yang baru
berumur 13 tahun, sudah dapat menghindari segala sesuatu yang gelap lagi
rendah.
Semoga karena
kecenderungan hatimu kepada Martir Agnes, kamu pun dapat bebas dari segala yang
gelap lagi rendah
0 komentar:
Posting Komentar